KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami ucapkan kepada allah SWT yang telah melimpahkan ilmu dan kemudahan
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Serta
selawat dan salam tidak lupa kami ucapkan kepada Nabi Muhammad Saw, yang telah menyelamatkan
kita dari zaman kebodohan ke zaman yang penuh ilmu dan kecanggihan seperti
sekarang ini.
Serta
tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih banyak kepada :
1.
Orang tua yang telah memberikan dukungan moral dan material.
2. Dosen
mata kuliah Fiqh Muamalah Ibu Tri Indah Fadhillah Rahmah, MEI yang telah
membantu hingga terselesaikan makalah ini.
3.
Seluruh rekan sejawat yang terlibat dalam menyelesaikan makalah ini.
Dalam
makalah ini kami membahas tentang “ Jual Beli Istishna’ ” yang disusun dengan mengambil
rujukan dari beberapa refrensi yang bersangkutan guna menambah wawasan yang
lebih mendalam..
Pemakalah
ini menyadari bahwa penulisan makalah masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari
itu, pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pemakalah
khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Medan, 12 April 2016
Pemakalah
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................1
Latar Belakang.............................................................................................1
Rumusan Masalah.........................................................................................2
Tujuan Masalah.............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................3
A.
Pengertian
Istishna’................................................................................3
B.
Jenis – jenis
Akad Istishna’....................................................................4
C.
Landasan Hukum
Istishna’.....................................................................5
D.
Syarat dan
Rukun Istishna’.....................................................................6
E.
Hak dan
Kewajiban Pelaku Istishna’......................................................8
F.
Perbedaan
antara Jual Beli Salam dan Jual Beli Istishna’..........................8
G.
Berakhirnya
jual Beli Istishna’................................................................10
BAB III PENUTUP................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Transaksi Bai’ al-istishna’
merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak
ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha
melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang
telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak
bersepakat atsa harga serta sistem pembayaran di lakukan di muka, melalui
cicilan atau di tangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.
Menurut Ulama fuqaha, bai’
al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari bai’ as-salam. Biasanya jenis
ini di pergunakan di bidang manufaktur dan konstruksi. Dengan demikian
ketentuan bai’ al-istishna, mengikuti ketentuan dan aturan bai’ as-salam.
Akad istishna’ merupakan produk lembaga keuangan syariah,
sehingga jual beli ini dapat dilakukan di lembaga keuangan syariah. Semua
lembaga keuangan syariah memberlakukan produk ini sebagai jasa untuk nasabah,
selain memberikan keuntungan kepada produsen juga memberikan keuntungan kepada
konsumen atau pemesan yang memesan barang. Sehingga lembaga keuangan syariah
menjadi pihak intermediasi dalam hal ini.
Dalam perkembangannya, ternyata akad istishna lebih
mungkin banyak digunakan di lembaga keuangan syariah dari pada salam. Hal ini
disebabkan karena barang yang dipesan oleh nasabahatau konsumen lebih banyak
barang yang belum jadi dan perlu dibuatkan terlebih dahulu dibandingkan dengan
barang yang sudah jadi. Secara sosiologis barang yang sudah jadi telah banyak
tersedia di pasaran, sehingga tidak perlu dipesan terlebih dahulu pada saat
hendak membelinya. Oleh karena itu pembiayaan yang mengimplementasikan
istishna’ bisa menjadi salah satu solusi untuk mengantisipasi masalah pengadaan
barang yang belum tersedia.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan Istishna’ ?
2.
Sebutkan jenis-jenis Akad Istishna’ ?
3.
Apa landasan hukum Istishna’ ?
4.
Bagaimana rukun dan syarat Istishna’ ?
5.
Apa
Hak dan
kewajiban para pihak istishna’
?
6.
Bagaimana
perbedaan as-salam dan al-istishna’?
7.
Kapan
berakhirnya Istishna’ ?
C.
Tujuan Masalah
1 .
Mengetahui apa yang dimaksud dengan Istishna’
2 .
Mengetahui jenis – jenis Akad Istishna’
3 .
Mengetahui landasan hukum tentang jual beli Istishna’
4 .
Mengetahui apa-apa saja rukun dan syarat
Istishna’
5 .
Mengetahui hak dan kewajiban para pelaku
Istishna’
6 .
Mengetahui perbedaan antara jual beli Salam
dengan jual beli Istishna’
7 .
Mengetahui masa berakhirnya jual beli Istishna’
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Istishna’
Berasal dari kata ﺻﻧﻊ (shana’a) yang
artinya membuat kemudian ditambah huruf alif, sin dan ta’ menjadi ﺍ ﺴﺗﺻﻧﻊ (istashna’a) yang
berarti meminta dibuatkan sesuatu.
Istishna’ atau pemesanan secara bahasa artinya:
meminta di buatkan. Menurut terminologi ilmu fiqih artinya: perjanjian terhadap
barang jualan yang berada dalam kepemilikan penjual dengan syarat di buatkan
oleh penjual, atau meminta di buatkan secara khusus sementara bahan bakunya
dari pihak penjual.
Secara istilah ialah akad jual beli
antara pemesan dengan penerima pesanan atas sebuah barang dengan spesifikasi
tertentu[1].
Sedangkan menurut pandangan ulama adalah :
-
Mazhab Hanafi
عقد على مبيع في
الذمة شرط فيه العمل
Maknanya adalah
Sebuah akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat mengerjakaannya.
Sehingga bila seseorang berkata kepada orang lain yang punya keahlian dalam
membuat sesuatu,"Buatkan untuk aku sesuatu dengan harga sekian
dirham", dan orang itu menerimanya, maka akad istishna' telah terjadi
dalam pandangan mazhab ini.
-
Mazhab - Hambali
بيع سلعة ليست
عنده على وجه غير السلم
Maknanya
adalah Jual-beli barang yang tidak (belum) dimilikinya yang tidak
termasuk akad salam. Dalam hal ini akad istishna' mereka samakan dengan
jual-beli dengan pembuatan (بيع بالصنعة).
-
Mazhab Maliki dan - Syafi'i
الشيء المسلم للغير من الصناعات
Maknanya adalah
Suatu barang yang diserahkan kepada orang lain dengan cara membuatnya. Bai’ al-istishna’ adalah akad jual beli dalam
bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan
tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli) dan penjual/Shani’. Shani
akan menyiapkan barang yang dipesan sesuai dengan spesifikasi yang telah
disepakati dimana ia dapat menyiapkan sendiri atau melalui pihak lain. Kedua
belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran, apakah pembayaran dilakukan
di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang
akan datang[2].
Akad istishna'
juga identik dengan akad ijarah, ketika bahan baku untuk produksi berasal dari
pemesan, sehingga produsen (shani') hanya memberikan jasa pembuatan, dan ini
identik dengan akad ijarah. Berbeda ketika jasa pembuatan dan bahan bakunya
dari produsen (shani'), maka ini dinamakan dengan akad istishna'
B.
Jenis – jenis
Akad Istishna’
Akad Istishna’
terdiri dari 2 jenis, diantaranya adalah :
1.
Akad Istishna’
Istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan
barang tertentu dan dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati
antara pemesanan ( pembeli/mustashni’) dan penjual (pembuat/shani’).
2.
Istishna’
Paralel
Istishna’ paralel adalah suatu bentuk akad istishna’ antara penjual
dan pemesan, dimana untuk memenuhi kewajibannya kepada pemesan, penjual
melakukan akad istishna’ dengan pihak lain (sub kontraktor) yang dapat memenuhi
aset yang dipesan pembeli. Syaratnya akad Istishna’ pertama tidak bergantung pada
istishna’ kedua. Selain itu penjual tidak boleh mengakui adanya keuntungan
selama konstruksi[3].
C.
Landasan Hukum
Istishna’
Dasar Hukum transaksibai’ as-salam terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
a. Al-Qur’an
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ
مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk waktu yang tidak di tentukan, hendaklah kamu menuliskannya…. ”(al-Baqarah:282)
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبا
Allah telah
menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (Qs. Al
Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan
bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata
diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.
b. As – Sunnah
Pandangan Sunnah mengenai Istishna’
adalah sebagai berikut :
Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak
menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa
raja- raja non-Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau
pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas
menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di
tangan beliau.” (HR. Muslim).
Perbuatan nabi ini menjadi bukti
nyata bahwa akad istishna‟ adalah akad yang dibolehkan. Sebagian ulama
menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de- fakto telah bersepakat
merajut konsensus (ijma‟) bahwa akad istishna‟ adalah akad yang dibenarkan dan
telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulama pun
yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.[4]
c. Ijma’
Mengutip dari perkataan Ibnu Mundzir yang mengatakan
bahwa, semua ahli ilmu (ulama) telah sepakat bahwa jual beli salam
diperbolehkan, karena terdapat kebutuhan dan keperluan untuk memudahkan urusan
manusia. Dari
berbagai landasan di atas, jelaslah bahwa akad salam diperbolehkan
sebagai kegiatan bemuamalah sesama manusia[5]
D.
Syarat dan
Rukun Istishna’
Syarat
yang diajukan ulama untuk diperbolehkan transaksi jual beli istishna’adalah:
1.
Adanya kejelasan jenis, macam, ukuran dan sifat
barang, karena ia merupakan objek transaksi yang harus diketahui
spesifikasinya.
Untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, manusia selalu berinteraksi dengan sesamanya untuk
mengadakan berbagai transaksi ekonomi, salah satunya adalah jual beli yang
melibatkan dua pelaku, yaitu penjual dan pembeli. Biasanya penjual adalah
produsen. Sedangkan
pembeli adalah konsumen konsumen. Pada kenyataannya, konsumen kadang memerlukan
barang yang belum di hasilkan sehingga konsumen melakukan transaksi jual beli
dengan produsen dengan cara pesanan. Di dalam perbankan syariah, jual beli
Istishna’ lazim di tetapkan pada bidang konstruksi dan manufaktur[6].
2. Merupakan
barang yang biasa ditransaksikan/berlaku dakam hubungan antar manusia.
3. Tidak
boleh adanya penentuan jangka waktu, jika jangka waktu penyerahan barang
ditetapkan, maka kontak ini akan berubah menjadi akad salam.
Namun ada beberapa sayarat dan rukun
lain yang dinyatakan dalam konsep Istishna :
a.
Mu’qidain: Muslam ( pembeli ) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang. Muslam
ilaih ( penjual ) adalah pihak yang memasok barang pesanan[7].
· Cakap bertindak hukum ( baligh dan berakal sehat).
· Muhtar ( tidak dibawah tekanan/paksaan).
b. Modal atau uang. Ada pula yang menyebut harga (tsaman).
· Jelas dan terukur
·
Disetujui kedua
pihak
· Diserahkan tunai/cash ketika akad berlangsung
c.
Muslan fiih adalah barang yang dijual belikan (obyek transaksi)
· Dinyatakan jelas jenisnya
· Jelas sifat-sifatnya
·
Jelas ukurannya
·
Jelas batas
waktunya
· Tempat penyerahan dinyatakan secara jelas
d. Shigat adalah ijab dan qabul.
Harus diungkapkan dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh hal-hal
yang dapat memalingkan keduanya dari maksud akad[8]
Para imam mazhab telah bersepakat
bahwasanya jual beli salam adalah benar dengan enam syarat yaitu jenis
barangnya diketahui, sifat barangnya diketahui, banyaknya barang diketahui,
waktunya diketahui oleh kedua belah pihak, mengetahui kadar uangnya, jelas
tempat penyerahannya[9].
E.
Hak dan
Kewajiban Pelaku Istishna’
1. Pihak pertama dalam hal ini PENJUAL wajib dan dengan ini
menyetujui untuk memberikan ganti rugi kepada pihak kedua dalam hal ini PEMBELI
atas segala kerugian apabila terdapat cacat pada barang pesanan sebagai
kelalaian pihak pertama.
2. Pihak
kedua dalam hal ini PEMBELI wajib dan menyetujui untuk melakukan pembayaran
cicilan kepada pihak pertama dalam hal ini PENJUAL untuk membayar cicilan tepat
waktu dan besaran cicilan, misalnya sebesar Rp. 2.500.000/minggu selama dua
bulan.
3. Pihak
Pembeli mempunyai hak untuk memperoleh jaminan dari penjual atas:
1. Jumlah yang telah
di bayarkan dan
2. Penyerahan barang
pesanan sesuai dengan spesifikasi dan tepat waktu.
F. Perbedaan anatara Jual Beli Salam
dengan Jual Beli Istishna’
Menurut jumhur fuqaha, jual beli istisna’ itu sama
dengan salam, yakni jual beli sesuatu yang belum ada pada saat akad berlangsung
(bay’ al-ma’dum). Menurut fuqaha Hanafiah, ada dua perbedaan penting antara
salam dengan istisna’, yaitu:
1.
Cara pembayaran dalam salam harus di
lakukan pada saat akad berlangsung, sedangkan dalam istisna’ dapat di lakukan
pada saat akad berlangsung, bisa di angsur atau bisa di kemudian hari.
2.
Salam mengikat para pihak yang mengadakan
akad sejak semula, sedangkan istisna’ menjadi pengikat untuk melindungi
produsen sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen yang tidak
bertanggungjawab[10].
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Insitut
Bankir Indonesia mendefinisikan istisna’ sebagai akad antara pemesan dengan pembuat
barang untuk suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan atau jual beli suatu
barang yang baru akan di buat oleh pembuat barang. Dalam istisna’, bahan baku
dan pekerjaan penggarapannya menjadi kewajiban pembuat barang. Jika bahan baku
di sediakan oleh pemesan, maka akad tersebut berubah menjadi ijarah[11].
SUBJEK
|
SALAM
|
ISTISHNA
|
ATURAN DAN KETERANGAN
|
Pokok Kontrak
|
Muslam Fiihi
|
Mashnu’
|
Barang di tangguhkan dengan spesifikasi.
|
Harga
|
Di bayar saat kontrak
|
Bisa saat kontrak, bisa di angsur, bisa
dikemudian hari
|
Cara penyelesaian pembayaran merupakan
perbedaan utama antara salam dan istishna’.
|
Sifat Kontrak
|
Mengikat secara asli (thabi’i)
|
Mengikat secara ikutan (taba’i)
|
Salam mengikat semua pihak sejak semula,
sedangkan istishna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak
di tinggalkan begitu saja oleh konsumen secara tidak bertanggung jawab.
|
Kontrak Pararel
|
Salam Pararel
|
Istishna’ Pararel
|
Baik salam pararel maupun istishna’
pararel sah asalkan kedua kontrak secara hukum adalah terpisah[12].
|
G.
Berakhirnya
Jual Beli Istishna’
Berakhirnya akad jual beli istishna’bila didasari dengan beberapa kondisi. Beberapa kondisi tersebut adalah :
-
Dipenuhinya kewajiban secara
normal oleh kedua belah pihak
-
Persetujuan bersama kedua belah
pihak untuk menghentikan
kontrak
-
Pembatalan hukum kontrak. Ini jika
muncul sebab yang masuk akal
untuk mencegah dilaksanakannya kontrak atau penyelesaiannya, dan
masing-masing pihak bisa menuntut pembatalannya
BAB III
PENUTUP
Bai’
Istishna’ atau pemesanan secara bahasa artinya meminta di
buatkan. Menurut terminologi artinya perjanjian terhadap barang jualan yang
berada dalam kepemilikan penjual dengan syarat di buatkan oleh penjual, atau
meminta di buatkan secara khusus sementara bahan bakunya dari pihak penjual.
Di dalam akad Istishna’, terdapat dua akad, yaitu : Akad Istishna’ dan Akad
Istishna’ Paraelel.
Dalam akad Istishna’, terdapat hak dan kewajiban antara
penjual ( produsen ) dengan pembeli ( konsumen ). yaitu sama-sama bertanggung
jawab dengan konsekuensi dan syarat-sayarat yang telah disepakati.
Istishna’ bukanlah sebagai materi baru dalam pembelajaran Muamalah,
karena sudah tertera dalam Alquran, Sunnah, serta Ijma’. Beberapa pendapat
menyatakan bahwa jual beli Salam sama dengan jual beli Istishna’, Namu semua
pendapat itu dilicinkan dengan adanya perbedaan anatara jual beli istishna’
dengan jual beli Salam.
DAFTAR PUSTAKA
A
Karim, Adiwarman. 2010. Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan. (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada).
Hadi,
Abd. 2010. Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam, (Surabaya: Putra Media Nusantara)
Sutedi, Adrian. 2009. Perbankan Syariah,
Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum. ( Bogor: Ghalia Indonesia).
Sarwat,
Ahmad. 2009. Seri Fiqh Islam Kitab Muamalat. ( Jakarta : Kampus Syariah ).
Ananda, Dwi Rizky. 2013. Makalah Jual Beli Salam.
[online]. Tersedia: http://rizkyel-guaje.blogspot.com/2013/05/makalah-jual-beli-salam.html.
[14 Desember 2013]
Ascarya.
2007. Akad dan Produk Bank Syariah. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada)
Djuwaini, Dimyauddin. 2008. Pengantar Fiqh Muamalah.
(
Yogyakarta: Pustaka Pelajar )
Ayub,
Muhammad. 2009. Understanding Islamic Finance : A-Z Keuangan Syariah. (
Jakarta : Gramedia )
Syafi’i Antonio, Muhammad.
2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik., ( Jakarta: Gema Insani ).
[2] Muhammad Syafi’i Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktik., ( Jakarta: Gema Insani 2001 ). hlm 159
[3]
Ibid
[6]
Ananda,
Dwi Rizky. 2013. Makalah Jual Beli Salam.
[online]. Tersedia: http://rizkyel-guaje.blogspot.com/2013/05/makalah-jual-beli-salam.html.
[14 Desember 2013]
[11] A Karim Adiwarman. Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan. (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada,2010). hlm. 75
[12] Muhammad Ayub. Understanding Islamic Finance : A-Z Keuangan Syariah. ( Jakarta : Gramedia, 2009 ) hlm. 97