Senin, 18 April 2016

Ponco_Style : Makalah Muammalah " Jual Beli Istishna' "



KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada allah SWT yang telah melimpahkan ilmu dan kemudahan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Serta selawat dan salam tidak lupa kami ucapkan kepada Nabi Muhammad Saw, yang telah menyelamatkan kita dari zaman kebodohan ke zaman yang penuh ilmu dan kecanggihan seperti sekarang ini.
Serta tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih banyak kepada :
1. Orang tua yang telah memberikan dukungan moral dan material.
2. Dosen mata kuliah Fiqh Muamalah Ibu Tri Indah Fadhillah Rahmah, MEI yang telah membantu hingga terselesaikan makalah ini.
3. Seluruh rekan sejawat yang terlibat dalam menyelesaikan makalah ini.
Dalam makalah ini kami membahas tentang “ Jual Beli Istishna’ ” yang disusun dengan mengambil rujukan dari beberapa refrensi yang bersangkutan guna menambah wawasan yang lebih mendalam..
Pemakalah ini menyadari bahwa penulisan makalah masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pemakalah khususnya dan bagi pembaca umumnya.


Medan, 12 April  2016


                                          Pemakalah




DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................1
Latar Belakang.............................................................................................1
Rumusan Masalah.........................................................................................2
Tujuan Masalah.............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................3
A.    Pengertian Istishna’................................................................................3
B.     Jenis – jenis Akad Istishna’....................................................................4
C.     Landasan Hukum Istishna’.....................................................................5
D.    Syarat dan Rukun Istishna’.....................................................................6
E.     Hak dan Kewajiban Pelaku Istishna’......................................................8
F.      Perbedaan antara Jual Beli Salam dan Jual Beli Istishna’..........................8
G.    Berakhirnya jual Beli Istishna’................................................................10
BAB III PENUTUP................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 12









BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Transaksi Bai’ al-istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atsa harga serta sistem pembayaran di lakukan di muka, melalui cicilan atau di tangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.
Menurut Ulama fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari bai’ as-salam. Biasanya jenis ini di pergunakan di bidang manufaktur dan konstruksi. Dengan demikian ketentuan bai’ al-istishna, mengikuti ketentuan dan aturan bai’ as-salam.
Akad istishna’ merupakan produk lembaga keuangan syariah, sehingga jual beli ini dapat dilakukan di lembaga keuangan syariah. Semua lembaga keuangan syariah memberlakukan produk ini sebagai jasa untuk nasabah, selain memberikan keuntungan kepada produsen juga memberikan keuntungan kepada konsumen atau pemesan yang memesan barang. Sehingga lembaga keuangan syariah menjadi pihak intermediasi dalam hal ini.
Dalam perkembangannya, ternyata akad istishna lebih mungkin banyak digunakan di lembaga keuangan syariah dari pada salam. Hal ini disebabkan karena barang yang dipesan oleh nasabahatau konsumen lebih banyak barang yang belum jadi dan perlu dibuatkan terlebih dahulu dibandingkan dengan barang yang sudah jadi.  Secara sosiologis barang yang sudah jadi telah banyak tersedia di pasaran, sehingga tidak perlu dipesan terlebih dahulu pada saat hendak membelinya. Oleh karena itu pembiayaan yang mengimplementasikan istishna’ bisa menjadi salah satu solusi untuk mengantisipasi masalah pengadaan barang yang belum tersedia.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Istishna’ ?
2.      Sebutkan jenis-jenis Akad Istishna’ ?
3.      Apa landasan hukum Istishna’ ?
4.      Bagaimana rukun dan syarat Istishna’ ?
5.      Apa Hak dan kewajiban para pihak istishna’ ?
6.      Bagaimana perbedaan as-salam  dan al-istishna’?
7.      Kapan berakhirnya Istishna’ ?

C.      Tujuan Masalah
1       .      Mengetahui apa yang dimaksud dengan Istishna’
2       .      Mengetahui jenis – jenis Akad Istishna’
3       .      Mengetahui landasan hukum tentang  jual beli Istishna’
4       .      Mengetahui apa-apa saja rukun dan syarat Istishna’
5       .      Mengetahui hak dan kewajiban para pelaku Istishna’
6       .      Mengetahui perbedaan antara jual beli Salam dengan jual beli Istishna’
7       .      Mengetahui masa berakhirnya jual beli Istishna’














BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Istishna’
Berasal dari kata ﺻﻧﻊ (shana’a) yang artinya membuat kemudian ditambah huruf alif, sin dan ta’ menjadi ﺍ ﺴﺗﺻﻧﻊ (istashna’a) yang berarti meminta dibuatkan sesuatu.
Istishna’ atau pemesanan secara bahasa artinya: meminta di buatkan. Menurut terminologi ilmu fiqih artinya: perjanjian terhadap barang jualan yang berada dalam kepemilikan penjual dengan syarat di buatkan oleh penjual, atau meminta di buatkan secara khusus sementara bahan bakunya dari pihak penjual.
Secara istilah ialah akad  jual beli antara pemesan dengan penerima pesanan atas sebuah barang dengan spesifikasi tertentu[1]. Sedangkan menurut pandangan ulama adalah :
-          Mazhab Hanafi
عقد على مبيع في الذمة شرط فيه العمل
Maknanya adalah Sebuah akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat mengerjakaannya. Sehingga bila seseorang berkata kepada orang lain yang punya keahlian dalam membuat sesuatu,"Buatkan untuk aku sesuatu dengan harga sekian dirham", dan orang itu menerimanya, maka akad istishna' telah terjadi dalam pandangan mazhab ini.

-          Mazhab - Hambali
بيع سلعة ليست عنده على وجه غير السلم
Maknanya adalah Jual-beli barang yang tidak (belum) dimilikinya yang tidak termasuk akad salam. Dalam hal ini akad istishna' mereka samakan dengan jual-beli dengan pembuatan (بيع بالصنعة).

-          Mazhab  Maliki dan - Syafi'i
الشيء المسلم للغير من الصناعات
Maknanya adalah Suatu barang yang diserahkan kepada orang lain dengan cara membuatnya. Bai’ al-istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli) dan penjual/Shani’. Shani akan menyiapkan barang yang dipesan sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati dimana ia dapat menyiapkan sendiri atau melalui pihak lain. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran, apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang[2].
Akad istishna' juga identik dengan akad ijarah, ketika bahan baku untuk produksi berasal dari pemesan, sehingga produsen (shani') hanya memberikan jasa pembuatan, dan ini identik dengan akad ijarah. Berbeda ketika jasa pembuatan dan bahan bakunya dari produsen (shani'), maka ini dinamakan dengan akad istishna'

B.       Jenis – jenis Akad Istishna’
Akad Istishna’ terdiri dari 2 jenis, diantaranya adalah :
1.      Akad Istishna’
Istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dan dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesanan ( pembeli/mustashni’) dan penjual (pembuat/shani’).
2.      Istishna’ Paralel
Istishna’ paralel adalah suatu bentuk akad istishna’ antara penjual dan pemesan, dimana untuk memenuhi kewajibannya kepada pemesan, penjual melakukan akad istishna’ dengan pihak lain (sub kontraktor) yang dapat memenuhi aset yang dipesan pembeli. Syaratnya akad Istishna’ pertama tidak bergantung pada istishna’ kedua. Selain itu penjual tidak boleh mengakui adanya keuntungan selama konstruksi[3].

C.      Landasan Hukum Istishna’
Dasar Hukum transaksibai’ as-salam terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
a. Al-Qur’an
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang tidak di tentukan, hendaklah kamu menuliskannya…. ”(al-Baqarah:282)

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.

b. As – Sunnah
            Pandangan Sunnah mengenai Istishna’ adalah sebagai berikut :
Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja- raja non-Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau.” (HR. Muslim).
Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna‟ adalah akad yang dibolehkan. Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de- fakto telah bersepakat merajut konsensus (ijma‟) bahwa akad istishna‟ adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulama pun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya.[4]

c. Ijma’
Mengutip dari perkataan Ibnu Mundzir yang mengatakan bahwa, semua ahli ilmu (ulama) telah sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan, karena terdapat kebutuhan dan keperluan untuk memudahkan urusan manusia. Dari berbagai landasan di atas, jelaslah bahwa akad salam diperbolehkan sebagai kegiatan bemuamalah sesama manusia[5]

D.      Syarat dan Rukun Istishna’
Syarat yang diajukan ulama untuk diperbolehkan transaksi jual beli istishna’adalah:
1.      Adanya kejelasan jenis, macam, ukuran dan sifat barang, karena ia merupakan objek transaksi yang harus diketahui spesifikasinya.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia selalu berinteraksi dengan sesamanya untuk mengadakan berbagai transaksi ekonomi, salah satunya adalah jual beli yang melibatkan dua pelaku, yaitu penjual dan pembeli. Biasanya penjual adalah produsen. Sedangkan pembeli adalah konsumen konsumen. Pada kenyataannya, konsumen kadang memerlukan barang yang belum di hasilkan sehingga konsumen melakukan transaksi jual beli dengan produsen dengan cara pesanan. Di dalam perbankan syariah, jual beli Istishna’ lazim di tetapkan pada bidang konstruksi dan manufaktur[6].
2.    Merupakan barang yang biasa ditransaksikan/berlaku dakam hubungan antar manusia.
3.    Tidak boleh adanya penentuan jangka waktu, jika jangka waktu penyerahan barang ditetapkan, maka kontak ini akan berubah menjadi akad salam.
Namun ada beberapa sayarat dan rukun lain yang dinyatakan dalam konsep Istishna :
a.             Mu’qidain: Muslam ( pembeli ) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang. Muslam ilaih ( penjual ) adalah pihak yang memasok barang pesanan[7].
·  Cakap bertindak hukum ( baligh dan berakal sehat).
·  Muhtar ( tidak dibawah tekanan/paksaan).
b.      Modal atau uang. Ada pula yang menyebut harga (tsaman).
·  Jelas dan terukur
·  Disetujui kedua pihak
·  Diserahkan tunai/cash ketika akad berlangsung
c.       Muslan fiih adalah barang yang dijual belikan (obyek transaksi)
·  Dinyatakan jelas jenisnya
·  Jelas sifat-sifatnya
·  Jelas ukurannya
·  Jelas batas waktunya
·  Tempat penyerahan dinyatakan secara jelas
d.      Shigat adalah ijab dan qabul.
Harus diungkapkan dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh hal-hal yang dapat memalingkan keduanya dari maksud akad[8]
Para imam mazhab telah bersepakat bahwasanya jual beli salam adalah benar dengan enam syarat yaitu jenis barangnya diketahui, sifat barangnya diketahui, banyaknya barang diketahui, waktunya diketahui oleh kedua belah pihak, mengetahui kadar uangnya, jelas tempat penyerahannya[9].

E.       Hak dan Kewajiban Pelaku Istishna’
1. Pihak pertama dalam hal ini PENJUAL wajib dan dengan ini menyetujui untuk memberikan ganti rugi kepada pihak kedua dalam hal ini PEMBELI atas segala kerugian apabila terdapat cacat pada barang pesanan sebagai kelalaian pihak pertama.
2. Pihak kedua dalam hal ini PEMBELI wajib dan menyetujui untuk melakukan pembayaran cicilan kepada pihak pertama dalam hal ini PENJUAL untuk membayar cicilan tepat waktu dan besaran cicilan, misalnya sebesar Rp. 2.500.000/minggu selama dua bulan.
3. Pihak Pembeli mempunyai hak untuk memperoleh jaminan dari penjual atas:
1.    Jumlah yang telah di bayarkan dan
2.   Penyerahan barang pesanan sesuai dengan spesifikasi dan tepat waktu.

F.       Perbedaan anatara Jual Beli Salam dengan Jual Beli Istishna’
Menurut jumhur fuqaha, jual beli istisna’ itu sama dengan salam, yakni jual beli sesuatu yang belum ada pada saat akad berlangsung (bay’ al-ma’dum). Menurut fuqaha Hanafiah, ada dua perbedaan penting antara salam dengan istisna’, yaitu:
1.      Cara pembayaran dalam salam harus di lakukan pada saat akad berlangsung, sedangkan dalam istisna’ dapat di lakukan pada saat akad berlangsung, bisa di angsur atau bisa di kemudian hari.
2.      Salam mengikat para pihak yang mengadakan akad sejak semula, sedangkan istisna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen yang tidak bertanggungjawab[10].
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Insitut Bankir Indonesia mendefinisikan istisna’ sebagai akad antara pemesan dengan pembuat barang untuk suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan atau jual beli suatu barang yang baru akan di buat oleh pembuat barang. Dalam istisna’, bahan baku dan pekerjaan penggarapannya menjadi kewajiban pembuat barang. Jika bahan baku di sediakan oleh pemesan, maka akad tersebut berubah menjadi ijarah[11].


SUBJEK
SALAM
ISTISHNA
ATURAN DAN KETERANGAN
Pokok Kontrak
Muslam Fiihi
Mashnu’
Barang di tangguhkan dengan spesifikasi.
Harga
Di bayar saat kontrak
Bisa saat kontrak, bisa di angsur, bisa dikemudian hari
Cara penyelesaian pembayaran merupakan perbedaan utama antara salam dan istishna’.
Sifat Kontrak
Mengikat secara asli (thabi’i)
Mengikat secara ikutan (taba’i)
Salam mengikat semua pihak sejak semula, sedangkan istishna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen secara tidak bertanggung jawab.
Kontrak Pararel
Salam Pararel
Istishna’ Pararel
Baik salam pararel maupun istishna’ pararel sah asalkan kedua kontrak secara hukum adalah terpisah[12].

G.      Berakhirnya Jual Beli Istishna’
Berakhirnya akad jual beli istishna’bila didasari dengan beberapa kondisi. Beberapa kondisi tersebut adalah :
-  Dipenuhinya kewajiban secara normal oleh kedua belah pihak
-  Persetujuan bersama kedua belah pihak untuk menghentikan kontrak
-  Pembatalan hukum kontrak. Ini jika muncul sebab yang masuk akal untuk mencegah dilaksanakannya kontrak atau penyelesaiannya, dan masing-masing pihak bisa menuntut pembatalannya














BAB III
PENUTUP

Bai’ Istishna’ atau pemesanan secara bahasa artinya meminta di buatkan. Menurut terminologi artinya perjanjian terhadap barang jualan yang berada dalam kepemilikan penjual dengan syarat di buatkan oleh penjual, atau meminta di buatkan secara khusus sementara bahan bakunya dari pihak penjual. Di dalam akad Istishna’, terdapat dua akad, yaitu : Akad Istishna’ dan Akad Istishna’ Paraelel.
Dalam akad Istishna’, terdapat hak dan kewajiban antara penjual ( produsen ) dengan pembeli ( konsumen ). yaitu sama-sama bertanggung jawab dengan konsekuensi dan syarat-sayarat yang telah disepakati.
Istishna’ bukanlah sebagai materi baru dalam pembelajaran Muamalah, karena sudah tertera dalam Alquran, Sunnah, serta Ijma’. Beberapa pendapat menyatakan bahwa jual beli Salam sama dengan jual beli Istishna’, Namu semua pendapat itu dilicinkan dengan adanya perbedaan anatara jual beli istishna’ dengan jual beli Salam.














DAFTAR PUSTAKA

A Karim, Adiwarman. 2010. Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada).
Hadi, Abd. 2010. Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam, (Surabaya: Putra  Media Nusantara)
Sutedi, Adrian. 2009. Perbankan Syariah, Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum. ( Bogor: Ghalia Indonesia).
Sarwat, Ahmad. 2009. Seri Fiqh Islam Kitab Muamalat. ( Jakarta : Kampus Syariah ).
Ananda, Dwi Rizky. 2013. Makalah Jual Beli Salam. [online]. Tersedia: http://rizkyel-guaje.blogspot.com/2013/05/makalah-jual-beli-salam.html. [14 Desember 2013]

Ascarya. 2007. Akad dan Produk Bank Syariah. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada)
Djuwaini, Dimyauddin. 2008. Pengantar Fiqh Muamalah. ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar )
Ayub, Muhammad. 2009. Understanding Islamic Finance : A-Z Keuangan Syariah. ( Jakarta : Gramedia )
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik., ( Jakarta: Gema Insani ).


[1] Gita Danupranata. Manjaemen Perbankan Syariah, ( Jakarta : Salemba Empat, 2013).  h.112
[2] Muhammad Syafi’i Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktik., ( Jakarta: Gema Insani  2001 ). hlm 159
[3] Ibid
[4] Dimyauddin Djuwaini. Pengantar Fiqh Muamalah. ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2008. ). hlm. 115
[6] Ananda, Dwi Rizky. 2013. Makalah Jual Beli Salam. [online]. Tersedia: http://rizkyel-guaje.blogspot.com/2013/05/makalah-jual-beli-salam.html. [14 Desember 2013]
[7] Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007) h. 97
[8] Ahmad Sarwat. Seri Fiqh Islam Kitab Muamalat. ( Jakarta : Kampus Syariah  2009 ). hlm. 89
                [9] Adrian Sutedi. Perbankan Syariah, Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum. ( Bogor: Ghalia Indonesia 2009 ). hlm 101             
[10] Abd Hadi. Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam, (Surabaya: Putra  Media Nusantara, 2010). hlm. 210
[11] A Karim Adiwarman. Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2010). hlm. 75
[12] Muhammad Ayub. Understanding Islamic Finance : A-Z Keuangan Syariah. ( Jakarta : Gramedia, 2009 ) hlm. 97

Tidak ada komentar:

Posting Komentar